Tulisan ini adalah bagian dari tulisan untuk kompetisi blog Kompetiblog Studi di Belanda 2010 yang diadakan oleh Nuffic Neso Indonesia dengan tema “Dutch innovation, in my opinion”.
Berbicara tentang Bandung, kita akan mengingat bahwa Bandung adalah salah satu ibukota dari provinsi yang tidak berada di dekat pantai. Bandung yang merupakan ibukota Jawa Barat memang terletak di daerah pegunungan (dataran tinggi).
Bandung secara sejarah menyimpan banyak memori akan perjuangan Indonesia. Sukarno, presiden pertama Indonesia merupakan lulusan dari Technische Hoogeschool, sekarang Institut Teknologi Bandung, berdasarkan catatan sejarah, Bandung juga menjadi ajang pertempuran di masa perang kemerdekaan, dan satu hal yang pasti menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955.
Berdasarkan data dari City Population, Bandung memiliki penduduk terbesar ketiga di kota-kota besar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.[1] Dengan populasi sebanyak 2.3 juta penduduk maka muncullah beragam masalah yang memang menjadi tantangan bagi pemerintah kota yang dipimpin oleh Bapak Dada Rosada.
Satu masalah yang sekarang ini sedang melanda Bandung adalah bencana banjir terutama daerah Bandung Selatan. Bukankah ini merupakan suatu hal yang harus kita pertanyakan karena secara geografis, Bandung terletak di daerah dataran tinggi. Jika merunut kepada satu iklan yang dulu sempat gencar di televisi, maka saya mencoba untuk mengganti kata-katanya menjadi "Kalau Bandung kebanjiran, berarti Jakarta tenggelam?".
Ada hal yang salah dengan tata ruang kota yang bisa mengakibatkan terjadinya banjir di dataran tinggi.
Sekarang kita kembali melakukan kajian ulang mengenai bencana ini. Pada suatu kesempatan, penulis pernah melakukan tanya jawab dengan beberapa penduduk kota Bandung, beberapa dosen dan juga teman-teman mahasiswa tentang perbandingan kondisi Bandung dahulu dan sekarang.
Tulisan ini akan coba memfokuskan pembahasan di Bandung Utara khususunya Dago. Berdasarkan tata ruang kota, Bandung Utara pada zaman Belanda dahulunya merupakan tempat untuk bermukimnya para perwira-perwira dan pejabat pemerintahan. Berikut ini merupakan denah dari kawasan Dago dimana kita bisa melihat begitu bagusnya rencana pembangunan kawasan ini.
Gambar Tata Ruang Dago [2] Anisavitri |
Dago dahulu kala [3] Anisavitri |
Mungkin kita sudah bosan mendengar bencana banjir yang terus melanda hampir pelosok nusantara, begitu juga dengan Bandung. Dalam 2 minggu kemaren, Kompas edisi Jawa Barat selalu memberitakan banjir yang melanda pelosok Jawa Barat dan Bandung bagian selatan. Dalam satu tulisan di Kompas, ditulis bahwa "Pembangunan di Bandung utara, membawa dampak negatif terhadap daerah di Bandung selatan". Hal ini karena tidak adanya konsep pembangunan yang ramah lingkungan serta konsep tata ruang kota yang boleh dikatakan tidak tertata dengan rapi sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada di Bandung.
Bandung utara yang dahulunya tempat bermukim sekarang menjadi kawasan kuliner dan tempat belanja. Dimana hal ini mengorbankan salah satu warisan yang begitu berharga bagi lingkungan yaitunya ditebangnya pohon-pohon besar yang selama ini menjadi penyambung nyawa bagi kehidupan masyarakat kota. Berikut ini gambar yang memperlihatkan Dago yang diambil dari jembatan penyeberangan di depan SMA 1 Bandung. Memang masih ada pohon-pohon tetapi ini lebih sedikit dibandingkan dengan 5 tahun sebelumnya.
Dago saat ini [4] Flickr |
Sumber:
[1] http://www.citypopulation.de/Indonesia-MU.html
[2] http://anisavitri.files.wordpress.com/2009/07/dagosuci.jpg
[3] http://anisavitri.files.wordpress.com/2009/07/bandung-dago-thee-huis.jpg
[4] http://www.flickr.com/photos/ikhlasulamal/1425744486/
* Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE UNPAD dan sedang mendalami Ekonomi Lingkungan.
1 Response to Pohon-Pohon Besar Itu Mengajarkan Kami Makna Pembangunan
keren bgt
Post a Comment